Jumat, 08 Februari 2008

TRENDSETTER BUDAYA METROPOLIS

Tanpa bermaksud merendahkan atau menyudutkan para sutradara sinetron remaja Indonesia, dan insan persinetronan Indonesia umumnya, profit oriented sebagai akibat dari budaya latah seringkali menjadi dasar pembuatan sebuah sinetron. Suksesnya film Ada Apa Dengan Cinta menjadi pemicu maraknya sinetron remaja dalam pertelevisian Indonesia. Dengan asumsi dapat menarik banyak pemirsa dan iklan yang berarti keuntungan besar, sinetron remaja dibuat sedemikian rupa walaupun terkadang satu sinetron dengan sinetron yang lain memiliki tema dan jalan cerita yang sama, yang membedakan hanya pemain dan PH (Production House)-nya saja.
Akibatnya, seringkali kita bingung apa yang dapat kita ambil dari sinetron-sinetron tersebut. Sinetron yang laku di pasaran seringkali memperpanjang episodenya, jalan ceritanya pun otomatis berubah yang terkadang menjadi terkesan “muter-muter”. Sinetron yang seharusnya menjadi media informasi dan pembelajaran yang baik bagi masyarakat seringkali tidak dapat memenuhi fungsinya.
Dengan dalih menceritakan realita kehidupan remaja saat ini, sinetron remaja dikemas dalam setting budaya metropolis yang seringkali terkesan negatif. Gaya pacaran yang kebablasan, Narkoba, Dunia Gemerlap seolah dianggap sebagai refleksi remaja saat ini. Apa kabar dengan remaja-remaja yang sukses mengikuti olimpiade sains, atau remaja-remaja kritis yang aktif di organisasi ?. Mungkin para sutradara itu menganggap mereka tidak marketable, dan lebih cocok ditampilkan sebagai profil dalam liputan-liputan remaja berprestasi.
Setting kehidupan metropolis yang ada dalam sinetron-sinetron remaja secara tidak langsung telah menjadi trendsetter bagi remaja-remaja lainnya. Sinetron dan televisi telah menciptakan sebuah budaya dan trend yang dianggap sebagai parameter “remaja gaul” Indonesia. Tidak hanya di kota-kota besar yang menjadi setting film tersebut. Tapi juga di kota-kota kecil yang menerima siaran televisi tersebut.
Budaya apa saja yang kemudian menjadi trend tersebut?. Aktris dan aktor sinetron remaja dianggap sebagai icons dan trendsetter para remaja “gaul” Indonesia. Gaya busana, rambut dan aksesoris yang mendukung penampilan mereka menjadi trend di kalangan remaja, tidak peduli pantas atau tidak. Yang paling parah, budaya busana di kalangan perempuan yang semakin minimalis mengisyaratkan kembalinya remaja Indonesia ke zaman purba dan zaman kolonial. Yakni ketika manusia belum mengenal bahan pakaian dan ketika bahan pakaian sulit didapat. Namun, tentu saja bangsa ini sudah maju dan merdeka, bahan pakain pun banyak tersedia. Ironisnya, pakaian minimalis atau “hemat bahan” bukan berarti hemat biaya, harga pakaian-pakaian tersebut dijual lebih mahal dari baju-baju “biasa”.
Hampir seluruh outlet pakaian menjual baju-baju yang serba minimalis, dan celakanya sangat diminati kaum remaja. Pakaian yang dulu dianggap hanya pakaian yang cocok dipakai artis, kini dipakai juga oleh remaja-remaja yang jauh dari dunia entertainment. Jika dulu hanya bisa disaksikan di televisi, kini di Bis, Angkot, Mall, Supermarket, distro-distro, atau di sepanjang jalan pusat perbelanjaan dapat kita nikmati pemandangan remaja-remaja yang mengenakan pakaian layaknya para aktris di televisi. Aksesoris gelang, kalung, dan rantai menambah meriahnya penampilan remaja saat ini.
Selain busana, aktor dan aktris juga seringkali menyuguhkan gaya rambut yang terus berubah-ubah. Mulai dari berkliblat gaya Amerika sampai oriental, sampai Harajuku Style, mulai dari keriting, acak-acakan sampai rebonding, dan warna rambut yang di cat warna-warni bagai pelangi, menginspirasi para remaja untuk datang ke salon dan menunggu berjam-jam untuk mendapatkan hasil seperti yang ditampilkan aktris dan idola mereka. Parameter yang dipakai adalah “gaul dan trendy”, bukan “pantas dan sopan”.
Budaya metropolis tidak hanya menyeret kaum perempuan tapi juga kaum laki-laki. Laki-laki kini tidak malu lagi ngantri di salon dan melakukan perawatan tubuh layaknya kaum perempuan. Sehingga muncul lah apa yang disebut sebagai cowok metroseksual. Kaum laki-laki yang seringkali dianggap mati gaya, kini tidak lagi seperti dulu. Aktor-aktor yang berani bereksperimen dengan gaya pakaian, rambut dan aksesoris yang mereka pakai, kemudian menjadi inspirasi dan parameter untuk menjadi “cowok gaul”.
Gaya busana, rambut and aksesoris lainnya hanya sebagian kecil dari budaya metropolis yang ditampilkan dalam sinetron remaja dan menjadi trend di kalangan remaja. Lebih jauh dari itu, gaya hidup yang ditampilkan dalam sinetron tersebut serigkali menampilkan kehidupan remaja yang selain “gaul” secara fisik, tapi juga mereka yang “gaul” dengan kehidupan malam dan dunia gemerlap (dugem). Gaya hidup seperti ini merupakan sebuah gaya hidup yang kental dengan narkoba dan seks bebas.
Entah siapa yang pertama memberikan inspirasi atau saling menginspirasi diantara sinetron remaja dan kehidupan remaja metropolis. Namun, faktanya café atau tempat-tempat dugem banyak dihiasi kaum remaja atau mereka yang mengaku ABG (Anak Baru Gede). Pasar narkoba pun tumbuh subur di kalangan ini, baik sebagai pemakai ataupun pengedar.
Gaya busana yang semakin minimalis, kehidupan malam, narkoba, dan gaya pacaran yang kebablasan pada akhirnya menyeret remaja pada satu kehidupan yang “menghalalkan” sex bebas atau sex pra nikah. Norma agama dan masyarakat yang menjunjung virginitas mulai terkikis dan dianggap sebelah mata. Atas nama hak asasi, budaya malu disingkirkan. Apalagi para aktris yang menjadi trendsetter para remaja itu, tanpa malu-malu menunjukkan kehamilannya yang diluar pernikahan di layar televisi. Sudah sebegitu bejatkah moral bangsa ini?
Korelasi antara sinetron dan demoralisasi memang tidak selamanya satu arah. Sinetron tidak bisa kita tuding sepenuhnya sebagai agen demoralisasi bangsa, karena sebagian sinetron memang hanya bertujuan untuk menggambarkan realita kehidupan remaja. Namun, ketika kemudian itu memberikan pengaruh yang pada akhirnya diikuti oleh para remaja, itu diluar kuasa para sutradara, karena benih-benih demoralisasi tersebut sebenarnya memang sudah ada di masyarakat.
Namun, sinetron remaja dengan para aktris dan aktornya tidak dapat kita pungkiri merupakan trendsetter remaja Indonesia. Dalam hal ini yang paling diuntungkan sebenarnya adalah produsen baju, aksesoris, dan salon. Maka tidak heran bila kita melihat akhir dari sebuah sinetron dipenuhi oleh ucapan terimakasih kepada berbagai merek pakaian dan distro sebagai wardrobe mereka. Sehingga para aktris dan aktor tersebut tidak hanya berakting tapi juga bagaimana menampilkan pesan sponsor dari produsen-produsen pakaian dan distro, sehingga pakaian dan aksesoris yang mereka kenakan menjadi trend.
Semua itu merupakan bagian dari budaya metropolis yang menyuguhkan modernitas, kegemerlapan, budaya konsumerisme yang tinggi sebagai akibat dari menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan. Hal ini mungkin memang menjadi hal yang biasa bagi mereka yang tinggal di kawasan metropoitan, dengan segala keironiannya. Maksudnya adalah bagi mereka kelas menengah ke atas, tidak bagi mereka yang hidup di wilayah kumuh.
Bagaimana dengan para remaja yang tinggal di kota-kota kecil?. Siaran televisi yang semakin menjangkau setiap pelosok nusantara telah membawa budaya metropolis yang dikemas dalam sinetron-sinetron remaja sampai ke kota-kota kecil. Pembangunan sarana ekonomi dan sarana transportasi yang semakin mudah mengakibatkan arus barang dan jasa semakin cepat masuk ke kota-kota tersebut. Ketiga hal tersebut mengakibatkan budaya metropolis kini tidak hanya dijumpai di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, tapi juga di kota-kota kecil yang letaknya jauh dari Jakarta.
Fenomena ini merupakan bagian dari pengaruh pembangunan dan globalisasi. Sikap yang harus kita ambil pun sama seperti kita menyikapi pembangunan dan globalisasi. Sikap selektif merupakan solusi terbaik untuk mencegah demoralisasi bangsa yang semakin kritis. Sisi-sisi negatif yang diperlihatkan dalam sinetron-sinetron remaja kita anggap sebagai pembelajaran dan batasan yang tidak boleh kita lakukan. Selain itu, komunikasi orang tua-anak yang diwujudkan dalam pendampingan dan bimbingan orang tua merupakan solusi terbaik dalam mencegah demoralisasi di kalangan remaja.
RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang masih “tidur” di DPR, semoga dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat meminimalisir pengaruh buruk tayangan sinetron remaja di televisi. Aktor dan aktris diharapkan dapat menjadi trendsetter yang dapat mengembalikan moral bangsa dan menjadikan remaja Indonesia menjadi pribadi yang unggul dan bermoral.

MENGGUGAT HAK PENDIDIKAN ANAK JALANAN


“Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang diatur dengan undang-undang”.
Demikianlah bunyi dari pasal 31 UUD 45, yang dari dulu sampai sekarang belum berubah. Namun bagaimana realitanya? Apakah semua warga negara telah memperoleh hak tersebut?. Jawabannya mari kita amati sendiri.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, ini berarti setiap warga negara Indonesia tanpa membedakan status sosial dan ekonomi berhak mendapatkan pendidikan. Namun realita tidak berbicara demikian, seringkali pendidikan hanya berpihak pada satu kelompok sosial tertentu dan tak bersahabat dengan satu kelompok sosial lainnya. Sebagai contoh, mahalnya biaya pendidikan sekolah mengakibatkan adanya suatu paradigma bahwa sekolah hanya sebagai milik orang-orang kaya saja, bahkan akibat dari mahalnya biaya sekolah tersebut muncul ungkapan “orang miskin dilarang sekolah”.
Sungguh ironis dan menyedihkan sekali kondisi pendidikan di negeri ini, karena tidak semua orang bisa menikmatinya. Bahkan yang paling menyedihkan adalah bila kita melihat anak-anak yang seharusnya mendapat pendidikan formal di sekolah, harus turun ke jalan untuk mencari sesuap nasi. Kondisi itulah yang menimpa anak-anak jalanan di negeri ini, disamping berbagai permasalahan lain yang tak kalah peliknya.
Istilah anak jalanan sudah terdengar tidak asing lagi, termasuk di kalangan masyarakat umum. Anak jalanan seringkali dikategorikan dengan gelandangan dan pengemis. Hal ini dikarenakan terbukanya berbagai kemungkinan definisi mengenai anak jalanan. Salah satu definisi menyebutkan bahwa anak jalanan merupakan “seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau mempertahankan hidupnya”. (Shalahuddin, 2000a). Batasan umur dibawah 18 tahun digunakan dengan mengacu pada konvensi Hak Anak, sedangkan pengertian mengenai jalanan tidak sekedar menunjuk pada jalanan saja, tetapi juga menunjuk pada tempat-tempat lain seperti mall, pasar, alun-alun, terminal, taman kota, dan lain-lain.
Menguak kehidupan anak jalanan terkesan seperti membuka lembaran hitam perjalanan manusia. Anak-anak yang selayaknya menikmati dunia kanak-kanaknya dengan belajar, berkreasi, mendapat bimbingan dan kasih sayang keluarga, serta berkembang secara wajar seiring dengan pertumbuhan usianya, nyatanya berada dalam situasi yang jauh berbeda. Anak-anak telah terpaksa atau dipaksa untuk mengarungi kehidupan yang sangat berat, syarat konflik, penuh dengan kekerasan dan ekspoitatif. Mereka harus berposisi sebagai orang dewasa kecil yang berjuang menapaki hidup untuk memperoleh nafkah bagi dirinya dan keluarganya, walaupun terkadang berbagai ancaman membayangi kehidupan mereka.
Situasi kehidupan anak jalanan sebagaimana tergambar diatas terasa jauh sekali dengan semangat kehidupan anak-anak yang terumuskan di dalam Konvensi Hak-hak Anak (KHA). KHA yang telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989 merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap posisi anak sebagai manusia yang memiliki hak.
Indonesia telah meratifikasi KHA pada tanggal25 Agustus tahun 1990 melalui keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Ini berarti Indonesia telah menikatkan diri secara yuridis untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada dalam KHA tersebut. Salahsatunya adalah Hak atas pendidikan waktu luang dan kegiatan budaya. Maka pertanyaan penting yang layak diajukan adalah sejauh mana negara telah melaksanakan ketentuan tersebut terhadap anak jalanan?.
Mengkaitkan kandungan hak-hak anak sebagaimana yang tercantum dalam KHA dengan realitas yang ada, maka akan terlihat suatu kesenjangan yang cukup tinggi. Penghormatan negara atas hak-hak anak jalanan dinilai masih sangat minim, bahkan pada kebijakan-kebijakan tertentu seperti razia-razia yang sarat dengan nuansa kekerasan, negara kerapkali dinilai melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak (jalanan).
Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam rangka memenuhi hak-hak anak jalanan harus senantiasa ditingkatkan. Hal ini mengingat anak sebagai aset dan generasi penerus bangsa. Salahsatunya adalah dengan meningkatkan pelayanan pendidikan bagi anak-anak jalanan. Pendidikan yang dimaksudkan disini adalah pendidikan formal sebagaimana yang dicanangkan pemerintah dalam Gerakan Wajib Belajar 9 tahun dan tentu saja dengan biaya pendidikan gratis atau murah bagi anak-anak jalanan yang memiliki keluarga miskin.
Selain pendidikan formal, pemerintah juga sebaiknya meningkatkan pembinaan keterampilan sebagai sebuah bentuk pendidikan non formal bagi anak-anak jalanan, diantaranya dengan cara memaksimalkan fungsi rumah singgah sebagai tempal berlatih keterampilan mereaka. Sehingga dengan adanya bekal ketermapilan, anak-anak jalanan ini akan mempunyai modal untuk bekerja yang lebih baik, tanpa harus mengamen atau mengemis lagi.
Untuk itu, maka pemerintah harus mengalokasikan dana yang lebih besar bagi sektor pendidikan. Subsidi BBM yang telah dicabut, diharpkan dapat teralokasikan dengan baik ke sektor ini. Jangan sampai akibat subsidi dicabut, jumlah anak putus sekolah makin meningkat. Bila demikian halnya maka orang miskin akan semakin miskin dan terlantar.
Semua ini harus menjadi perhatian bagi kita semua dan pemerintah khususnya, sehingga anak-anak yang biasa mangkal di lampu merah, mall, terminal, pasar dan sebagainya pada jam-jam sekolah, kini bisa menikmati bangku sekolah juga. Dengan masuknya anak-anak jalanan ke bangku sekolah, maka hal ini akan mengurangi jumlah anak yang tidak sekolah dan yang putus sekolah. Hal ini pada akhirnya akan memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia yang dinilai masih rendah dibanding dengan negara-negara lain. Mengingat belum meratanya kesempatan pendidikan yang mengakibatkan masih tingginya jumlah masyarakat Indonesia yang mengalami buta huruf.
Mari kita beri kesempatan anak-anak jalanan untuk memperoleh kesempatan mendapat pendidikan yang sama dengan anak-anak lainnya. Karena kalau bukan kita, sipa lagi yang akan peduli dengan nasib mereka?

Sebelum Ku Terlelap

‘Sebelum ku Terlelap’
(Untuk dia yang tak pernah tau)
By: LaNgIt JiNgGa

Jika esok ku terjaga
Kuingin terjaga dalam pelukanmu
Jika esok ku menatap
Kuingin menatap kedua bola matamu
Jika esok ku bicara
Kuingin bicara betapa aku menyayangimu
Jika esok ku mendengar
Kuingin mendengar kau juga meyayangiku
Jika esok ku menangis
Kuingin menangis karena bahagia denganmu
Jika esok ku masih hidup
Kuingin s’lalu hidup bersamamu
Jika esok ku menutup mata
Kuingin kau baca tulisanku ini
Hingga kau tau betapa aku menyayangimu
Kuingin kau cium kedua mataku
Dan kau bawa setangkai mawar ‘tuk mengiringi kepergianku
Yogyakarta, 8 februari 2006

Sebelum Ku Terlelap

‘Sebelum ku Terlelap’
(Untuk dia yang tak pernah tau)
By: LaNgIt JiNgGa

Jika esok ku terjaga
Kuingin terjaga dalam pelukanmu
Jika esok ku menatap
Kuingin menatap kedua bola matamu
Jika esok ku bicara
Kuingin bicara betapa aku menyayangimu
Jika esok ku mendengar
Kuingin mendengar kau juga meyayangiku
Jika esok ku menangis
Kuingin menangis karena bahagia denganmu
Jika esok ku masih hidup
Kuingin s’lalu hidup bersamamu
Jika esok ku menutup mata
Kuingin kau baca tulisanku ini
Hingga kau tau betapa aku menyayangimu
Kuingin kau cium kedua mataku
Dan kau bawa setangkai mawar ‘tuk mengiringi kepergianku
Yogyakarta, 8 februari 2006

SEPERTI ILALANG

Aku mencintaimu seperti Ilalang
Yang tumbuh tanpa kutanam
Aku mencintaimu seperti Ilalang
Yang hidup tanpa kusiram
Aku mencintaimu seperti Ilalang
Yang tetap tegak di padang gersang
Aku mencintaimu seperti Ilalang
Yang kembali tumbuh walau tlah kau tebang
Aku mencintaimu seperti Ilalang
Tapi Aku Bukan Wanita Jalang


By; Me
Langi Jingga
Tasikmalaya, 03 November 2007
02.30 p.m

KETIKA ITU

Ketika itu, seusai menidurkan Dimas, anak semata wayangku yang baru berusia 7 bulan. Aku segera beranjak ke dapur, aku harus menanak nasi untuk makan siang yang sebenarnya gabungan dari sarapan dan makan siang, dan kalau ada sisa berarti kami bisa makan malam. Maklum, penghasilan suamiku sebagai tukang koran tidaklah besar, ditambah lagi dengan kehadiran si mungil dimas yang sudah mulai membutuhkan makanan tambahan selain ASI. Aku tidak pernah mengeluh dengan keadaanku, walaupun kami harus tinggal di bantaran sungai yang sangat padat penduduknya. Sampai ………….
“ Mbak…. Mbak Marni…. Mbak dimana??!!!”
“Masuk saja, saya di dapur”. Aku tidak beranjak dari tungku, sambil menambah kayu bakar dan melumurinya dengan minyak. “Mbak, ayo ke rumah sakit… Mas Wid ditabrak lari” si pemberi kabar dengan napas yang terengah-engah telah berdiri dibelakangku.
Sesaat aku merasa seluruh tulang-tulangku terlepas sehingga tak kuasa menahan bobot tubuhku, jantungku berdetak kencang, dan tubuhku gemetar, pikiranku tidak berhenti membayangkan bagaimana keadaan suamiku.
Ternyata si pemberi kabar itu adalah Nur, tetanggaku yang juga rekan seprofesi suamiku sebagai Tukang Koran.
Aku berdiri melawan rasa lemas yang menyerang seluruh tubuhku, aku langsung berlari keluar tanpa menghiraukan apa pun. Nur, di belakang ikut mengejarku. Aku dan Nur langsung naik angkot yang menuju Rumah Sakit.
Aku terus menegarkan hatiku, walaupun ternyata aku tak kuasa membendung air mata yang sejak tadi aku tahan, dan perlahan menetes membasahi pipiku. Nur hanya bisa memegang tanganku dalam diam. Aku sangat ingin tahu bagaimana kecelakaan itu menimpa suamiku, tapi aku tidak bisa berkata apa-apa..
Akhirnya angkot yang kami tumpangi sampai di Rumah Sakit, Aku langsung berlari menuju ruang Unit Gawat Darurat. Jantungku berdetak semakin kencang, Tuhan bagaimana keadaan suamiku….
Di depan ruangan, aku melihat beberapa orang polisi sedang bicara dengan sesorang yang kemudian aku kenali sebagai Jiwo, pedagang asongan, teman suamiku.
“Jiwo……, dimana Mas Wid? Bagaimana keadaan dia??”
Aku tidak sadar telah menarik-narik tangan Jiwo dan berteriak-teriak kepadanya sambil menangis. Sementara Jiwo hanya menunduk dan tak berkata apa-apa… Nur memegang pundakku dari belakang.
“Maaf.. Apakah ibu istrinya saudari Widodo?” Salah seorang polisi bertanaya kepadaku.
“Betul Pak’, Bagaimana keadaan suami saya?” aku telah pasrah dengan apa yang akan aku dengar mengenai suamiku.
“Mari bu, ikut saya”. Polisi itu kemudian membawaku masuk ke ruang UGD, Nur dan Jiwo ikut dibelakangku.
Ruangan itu sangat besar, beberapa dokter dan perawat hilir mudik dengan entah apa dan siapa pasien yang dia tangani. Aku juga melihat beberapa keluarga sedang menangis histeris, di depan sebuah jasad yang tertutup kain. Perasaanku semakin tidak enak, apakah suamiku juga seperti itu? Terbujur kaku, tertutup kain yang berlumuran darah.. Tidak, suamiku tidak apa-apa…. Aku terus berusaha menegarkan hatiku.
“Permisi suster, ini Istri saudari Widodo, korban tabrak lari di Jl. Bhayangkari”. Polisi tersebut menyapa seorang perawat yang kebetulan lewat di depan kami.
“Oh.. Mari Bu”
Perawat itu kemudian membawaku menuju sesosok tubuh yang telah tertutup kain bersimbah darah seperti yang aku bayangkan dari tadi.. Aku menarik kain itu, Aku hampir tidak mengenali wajah Mas Wid, wajahnya hancur, pakaiannya lah yang membuat aku yakin itu adalah Mas Wid. Kaos biru, yang baru kubelikan tiga hari yang lalu.
Sesaat kemudian, aku merasa dunia sangat gelap, kakiku tak lagi mampu berpijak dan seketika itu pula aku rubuh….
Ketika aku membuka mata, belum sedihku hilang, aku teringat akan Dimas. Oh Tuhan… aku meninggalkan Dimas di Rumah…
“Nur, Dimas!!!”
“Dimas di rumah Nur!!”
“Ya ampun Mbak, biar Nur minta Jiwo bawa Dimas, sekalian memberi tahu Pak RT!”
Dengan bantuan Nur, aku kembali berdiri meratapi jasad Mas Wid yang kini telah dibersihkan lukanya,. Mas Wid, yang baru dua tahun menjadi suamiku adalah sosok lelaki yang sangat baik, sholeh, dan sangat tampan dimataku. Aku mengenal Mas Wid di lampu merah Jl. Bhayangkari, disana tempat dia biasa menjajakan Koran dan disana pula nyawanya terenggut!! Aku saat itu adalah seorang penjual bunga yang baru mencoba berjualan di Jl. Bhayangkari, sebelumnya aku pengamen! Aku berhenti berjualan ketika aku mulai mengandung Dimas. Mas Wid tidak ingin aku capek, dia sangat mengkhawatirkan kandunganku. Mulai saat itu, dia berjualan dari pagi sampai sore untuk menutupi kebutuhan dan persiapan kelahiran anak pertama kami.
Setelah Dimas lahir, Mas Wid semakin giat bekerja, pagi buta dia sudah mengantarkan Koran ke rumah-rumah langganannya, sehabis itu dia kembali mangkal di JL. Bhayangkari…
Ah… semua itu kini sudah hilang, kini aku harus membesarkan Dimas seorang diri, bahkan Dimas belum sempat bisa memanggil ayahnya.. Air mata ini sepertinya tidak pernah habis dan terus mengalir dari kelopak mataku.
Aku belum sempat bertanya bagaimana kecelakaan ini menimpa suamiku, aku masih menikmati air mata yang tak henti-hentinya membasahi pipiku. Lagipula, kalaupun si penabrak itu tertangkap, toh semua itu tidak akan mengembalikan suamiku, ayah dari Dimas..
Jiwo dan Pak RT datang menghampiriku, tapi Dimas tidak bersamanya. Aku berpikir, mungkin Dimas dibawa Ibu-ibu tetanggaku yang akan datang menyusul kemudian.
“Mbak Marni, saya turut berduka cita… tapi saya harus menyampaikan kabar ini kepada Mbak Marni, semoga Mbak Marni tabah”.
Perasaanku yang sedang kacau semakin tidak menentu, apa gerangan yang akan disampaikan Pak RT.
“Ada apa Pak? Dimas mana Jiwo?”
“Maaf bu, kami tidak tahu kalau Dimas ada di dalam rumah, kami tidak bisa menyelamatkan Dimas, sebagian kampung kita habis terbakar”
“Tuhan….. apalagi yang akan kau ambil dariku…………”. Aku berteriak histeris, aku tak mampu lagi menahan pedih hati ini. Baru dua jam lalu, aku kehilangan sumiku, dan kini aku harus menerima kenyataan kalau Dimas pergi menyusul ayahnya.
Ketika aku sedang menangis histeris, aku mendengar Jiwo mengatakan pada Nur, bahwa kebakaran di kampungku berasal dari rumahku. Aku ingat, aku meninggalkan tungku yang sedang menyala dan satu kompan kecil minyak tanah di dekatnya…. Mungkinkah ada tikus sialan yang menumpahkan minyak tanah sehingga membakar seluruh rumah dan kampungku??
Tidak?!! Aku telah menjadi pembunuh anakku sendiri, aku telah menjadi penyebab kebakaran di kampungku.
Apa yang akan dikatakan tetanggaku?, mereka pasti marah, menganggapku sebagai pembunuh! pembakar???!!
Tidak?! Kenapa semua ini harus terjadi padaku….. Aku pembunuh, aku telah membakar kampungku….. Orang-orang itu pasti akan menghukumku!!!
“Aku pembunuh…… Aku pembunuh……. “ Aku berteriak dan terus berteriak, aku meronta-ronta seperti orang gila.
Ya, mungkin aku gila, entah sejak kapan aku berada disini, bersama orang-orang yang sama sepertiku, melamun, berteriak, menangis, mengamuk, kemudian aku tertidur setelah dokter menyuntikkan obat penenang ke tubuhku….
Sampai detik ini aku tidak tahu, dimana kuburan Mas Wid dan Dimas, aku tidak pernah tahu bagaimana kecelakaan yang menimpa Mas Wid, dan aku bahkan tidak pernah melihat mayat Dimas….
Aku pembunuh….. Ya, Aku Pembunuh Anankku Sendiri!!!
Aku harus mati agar Mas Wid bisa memaafkan ku…
Tiba-tiba aku melihat Mas Wid menghampiriku sambil menggendong Dimas, mereka terlihat sangat kesepian. Mas Wid mengajaku pergi, dia mengulurkan satu tangannya untukku, dan tanganku pun menyambutnya. Perlahan tubuhku terasa ringan, melayang dan terbang bersama Mas Wid dan Dimas…
Aku sama sekali tidak merasakan sakitnya kabel infus yang aku cekik kan ke leherku sendiri………………
################
Tasikmalaya, 21 September 2006
By: N’latipah

Minggu, 27 Januari 2008

MENUNGGU IZRAIL

KETIKA SAKIT INI TELAH MENCABIK HATIKU
MEMBUAT AKAL TAK LAGI BISA BERFIKIR
DAN JANTUNG TAK ADA GAIRAH UNTUK BERDETAK
SENDI SENDI PUN MULAI KEHILANGAN RASA
DAN TAK ADA LAGI DARAH YANG BERSEDIA MENGALIR HANGAT DI RAGAKU
INILAH SAAT AKU MENUNGGU IZRAIL
YANG MENJEMPUTKU ATAS NAMA KEMATIAN