Jumat, 08 Februari 2008

MENGGUGAT HAK PENDIDIKAN ANAK JALANAN


“Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang diatur dengan undang-undang”.
Demikianlah bunyi dari pasal 31 UUD 45, yang dari dulu sampai sekarang belum berubah. Namun bagaimana realitanya? Apakah semua warga negara telah memperoleh hak tersebut?. Jawabannya mari kita amati sendiri.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, ini berarti setiap warga negara Indonesia tanpa membedakan status sosial dan ekonomi berhak mendapatkan pendidikan. Namun realita tidak berbicara demikian, seringkali pendidikan hanya berpihak pada satu kelompok sosial tertentu dan tak bersahabat dengan satu kelompok sosial lainnya. Sebagai contoh, mahalnya biaya pendidikan sekolah mengakibatkan adanya suatu paradigma bahwa sekolah hanya sebagai milik orang-orang kaya saja, bahkan akibat dari mahalnya biaya sekolah tersebut muncul ungkapan “orang miskin dilarang sekolah”.
Sungguh ironis dan menyedihkan sekali kondisi pendidikan di negeri ini, karena tidak semua orang bisa menikmatinya. Bahkan yang paling menyedihkan adalah bila kita melihat anak-anak yang seharusnya mendapat pendidikan formal di sekolah, harus turun ke jalan untuk mencari sesuap nasi. Kondisi itulah yang menimpa anak-anak jalanan di negeri ini, disamping berbagai permasalahan lain yang tak kalah peliknya.
Istilah anak jalanan sudah terdengar tidak asing lagi, termasuk di kalangan masyarakat umum. Anak jalanan seringkali dikategorikan dengan gelandangan dan pengemis. Hal ini dikarenakan terbukanya berbagai kemungkinan definisi mengenai anak jalanan. Salah satu definisi menyebutkan bahwa anak jalanan merupakan “seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau mempertahankan hidupnya”. (Shalahuddin, 2000a). Batasan umur dibawah 18 tahun digunakan dengan mengacu pada konvensi Hak Anak, sedangkan pengertian mengenai jalanan tidak sekedar menunjuk pada jalanan saja, tetapi juga menunjuk pada tempat-tempat lain seperti mall, pasar, alun-alun, terminal, taman kota, dan lain-lain.
Menguak kehidupan anak jalanan terkesan seperti membuka lembaran hitam perjalanan manusia. Anak-anak yang selayaknya menikmati dunia kanak-kanaknya dengan belajar, berkreasi, mendapat bimbingan dan kasih sayang keluarga, serta berkembang secara wajar seiring dengan pertumbuhan usianya, nyatanya berada dalam situasi yang jauh berbeda. Anak-anak telah terpaksa atau dipaksa untuk mengarungi kehidupan yang sangat berat, syarat konflik, penuh dengan kekerasan dan ekspoitatif. Mereka harus berposisi sebagai orang dewasa kecil yang berjuang menapaki hidup untuk memperoleh nafkah bagi dirinya dan keluarganya, walaupun terkadang berbagai ancaman membayangi kehidupan mereka.
Situasi kehidupan anak jalanan sebagaimana tergambar diatas terasa jauh sekali dengan semangat kehidupan anak-anak yang terumuskan di dalam Konvensi Hak-hak Anak (KHA). KHA yang telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989 merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap posisi anak sebagai manusia yang memiliki hak.
Indonesia telah meratifikasi KHA pada tanggal25 Agustus tahun 1990 melalui keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Ini berarti Indonesia telah menikatkan diri secara yuridis untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada dalam KHA tersebut. Salahsatunya adalah Hak atas pendidikan waktu luang dan kegiatan budaya. Maka pertanyaan penting yang layak diajukan adalah sejauh mana negara telah melaksanakan ketentuan tersebut terhadap anak jalanan?.
Mengkaitkan kandungan hak-hak anak sebagaimana yang tercantum dalam KHA dengan realitas yang ada, maka akan terlihat suatu kesenjangan yang cukup tinggi. Penghormatan negara atas hak-hak anak jalanan dinilai masih sangat minim, bahkan pada kebijakan-kebijakan tertentu seperti razia-razia yang sarat dengan nuansa kekerasan, negara kerapkali dinilai melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak (jalanan).
Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam rangka memenuhi hak-hak anak jalanan harus senantiasa ditingkatkan. Hal ini mengingat anak sebagai aset dan generasi penerus bangsa. Salahsatunya adalah dengan meningkatkan pelayanan pendidikan bagi anak-anak jalanan. Pendidikan yang dimaksudkan disini adalah pendidikan formal sebagaimana yang dicanangkan pemerintah dalam Gerakan Wajib Belajar 9 tahun dan tentu saja dengan biaya pendidikan gratis atau murah bagi anak-anak jalanan yang memiliki keluarga miskin.
Selain pendidikan formal, pemerintah juga sebaiknya meningkatkan pembinaan keterampilan sebagai sebuah bentuk pendidikan non formal bagi anak-anak jalanan, diantaranya dengan cara memaksimalkan fungsi rumah singgah sebagai tempal berlatih keterampilan mereaka. Sehingga dengan adanya bekal ketermapilan, anak-anak jalanan ini akan mempunyai modal untuk bekerja yang lebih baik, tanpa harus mengamen atau mengemis lagi.
Untuk itu, maka pemerintah harus mengalokasikan dana yang lebih besar bagi sektor pendidikan. Subsidi BBM yang telah dicabut, diharpkan dapat teralokasikan dengan baik ke sektor ini. Jangan sampai akibat subsidi dicabut, jumlah anak putus sekolah makin meningkat. Bila demikian halnya maka orang miskin akan semakin miskin dan terlantar.
Semua ini harus menjadi perhatian bagi kita semua dan pemerintah khususnya, sehingga anak-anak yang biasa mangkal di lampu merah, mall, terminal, pasar dan sebagainya pada jam-jam sekolah, kini bisa menikmati bangku sekolah juga. Dengan masuknya anak-anak jalanan ke bangku sekolah, maka hal ini akan mengurangi jumlah anak yang tidak sekolah dan yang putus sekolah. Hal ini pada akhirnya akan memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia yang dinilai masih rendah dibanding dengan negara-negara lain. Mengingat belum meratanya kesempatan pendidikan yang mengakibatkan masih tingginya jumlah masyarakat Indonesia yang mengalami buta huruf.
Mari kita beri kesempatan anak-anak jalanan untuk memperoleh kesempatan mendapat pendidikan yang sama dengan anak-anak lainnya. Karena kalau bukan kita, sipa lagi yang akan peduli dengan nasib mereka?