Jumat, 08 Februari 2008

TRENDSETTER BUDAYA METROPOLIS

Tanpa bermaksud merendahkan atau menyudutkan para sutradara sinetron remaja Indonesia, dan insan persinetronan Indonesia umumnya, profit oriented sebagai akibat dari budaya latah seringkali menjadi dasar pembuatan sebuah sinetron. Suksesnya film Ada Apa Dengan Cinta menjadi pemicu maraknya sinetron remaja dalam pertelevisian Indonesia. Dengan asumsi dapat menarik banyak pemirsa dan iklan yang berarti keuntungan besar, sinetron remaja dibuat sedemikian rupa walaupun terkadang satu sinetron dengan sinetron yang lain memiliki tema dan jalan cerita yang sama, yang membedakan hanya pemain dan PH (Production House)-nya saja.
Akibatnya, seringkali kita bingung apa yang dapat kita ambil dari sinetron-sinetron tersebut. Sinetron yang laku di pasaran seringkali memperpanjang episodenya, jalan ceritanya pun otomatis berubah yang terkadang menjadi terkesan “muter-muter”. Sinetron yang seharusnya menjadi media informasi dan pembelajaran yang baik bagi masyarakat seringkali tidak dapat memenuhi fungsinya.
Dengan dalih menceritakan realita kehidupan remaja saat ini, sinetron remaja dikemas dalam setting budaya metropolis yang seringkali terkesan negatif. Gaya pacaran yang kebablasan, Narkoba, Dunia Gemerlap seolah dianggap sebagai refleksi remaja saat ini. Apa kabar dengan remaja-remaja yang sukses mengikuti olimpiade sains, atau remaja-remaja kritis yang aktif di organisasi ?. Mungkin para sutradara itu menganggap mereka tidak marketable, dan lebih cocok ditampilkan sebagai profil dalam liputan-liputan remaja berprestasi.
Setting kehidupan metropolis yang ada dalam sinetron-sinetron remaja secara tidak langsung telah menjadi trendsetter bagi remaja-remaja lainnya. Sinetron dan televisi telah menciptakan sebuah budaya dan trend yang dianggap sebagai parameter “remaja gaul” Indonesia. Tidak hanya di kota-kota besar yang menjadi setting film tersebut. Tapi juga di kota-kota kecil yang menerima siaran televisi tersebut.
Budaya apa saja yang kemudian menjadi trend tersebut?. Aktris dan aktor sinetron remaja dianggap sebagai icons dan trendsetter para remaja “gaul” Indonesia. Gaya busana, rambut dan aksesoris yang mendukung penampilan mereka menjadi trend di kalangan remaja, tidak peduli pantas atau tidak. Yang paling parah, budaya busana di kalangan perempuan yang semakin minimalis mengisyaratkan kembalinya remaja Indonesia ke zaman purba dan zaman kolonial. Yakni ketika manusia belum mengenal bahan pakaian dan ketika bahan pakaian sulit didapat. Namun, tentu saja bangsa ini sudah maju dan merdeka, bahan pakain pun banyak tersedia. Ironisnya, pakaian minimalis atau “hemat bahan” bukan berarti hemat biaya, harga pakaian-pakaian tersebut dijual lebih mahal dari baju-baju “biasa”.
Hampir seluruh outlet pakaian menjual baju-baju yang serba minimalis, dan celakanya sangat diminati kaum remaja. Pakaian yang dulu dianggap hanya pakaian yang cocok dipakai artis, kini dipakai juga oleh remaja-remaja yang jauh dari dunia entertainment. Jika dulu hanya bisa disaksikan di televisi, kini di Bis, Angkot, Mall, Supermarket, distro-distro, atau di sepanjang jalan pusat perbelanjaan dapat kita nikmati pemandangan remaja-remaja yang mengenakan pakaian layaknya para aktris di televisi. Aksesoris gelang, kalung, dan rantai menambah meriahnya penampilan remaja saat ini.
Selain busana, aktor dan aktris juga seringkali menyuguhkan gaya rambut yang terus berubah-ubah. Mulai dari berkliblat gaya Amerika sampai oriental, sampai Harajuku Style, mulai dari keriting, acak-acakan sampai rebonding, dan warna rambut yang di cat warna-warni bagai pelangi, menginspirasi para remaja untuk datang ke salon dan menunggu berjam-jam untuk mendapatkan hasil seperti yang ditampilkan aktris dan idola mereka. Parameter yang dipakai adalah “gaul dan trendy”, bukan “pantas dan sopan”.
Budaya metropolis tidak hanya menyeret kaum perempuan tapi juga kaum laki-laki. Laki-laki kini tidak malu lagi ngantri di salon dan melakukan perawatan tubuh layaknya kaum perempuan. Sehingga muncul lah apa yang disebut sebagai cowok metroseksual. Kaum laki-laki yang seringkali dianggap mati gaya, kini tidak lagi seperti dulu. Aktor-aktor yang berani bereksperimen dengan gaya pakaian, rambut dan aksesoris yang mereka pakai, kemudian menjadi inspirasi dan parameter untuk menjadi “cowok gaul”.
Gaya busana, rambut and aksesoris lainnya hanya sebagian kecil dari budaya metropolis yang ditampilkan dalam sinetron remaja dan menjadi trend di kalangan remaja. Lebih jauh dari itu, gaya hidup yang ditampilkan dalam sinetron tersebut serigkali menampilkan kehidupan remaja yang selain “gaul” secara fisik, tapi juga mereka yang “gaul” dengan kehidupan malam dan dunia gemerlap (dugem). Gaya hidup seperti ini merupakan sebuah gaya hidup yang kental dengan narkoba dan seks bebas.
Entah siapa yang pertama memberikan inspirasi atau saling menginspirasi diantara sinetron remaja dan kehidupan remaja metropolis. Namun, faktanya café atau tempat-tempat dugem banyak dihiasi kaum remaja atau mereka yang mengaku ABG (Anak Baru Gede). Pasar narkoba pun tumbuh subur di kalangan ini, baik sebagai pemakai ataupun pengedar.
Gaya busana yang semakin minimalis, kehidupan malam, narkoba, dan gaya pacaran yang kebablasan pada akhirnya menyeret remaja pada satu kehidupan yang “menghalalkan” sex bebas atau sex pra nikah. Norma agama dan masyarakat yang menjunjung virginitas mulai terkikis dan dianggap sebelah mata. Atas nama hak asasi, budaya malu disingkirkan. Apalagi para aktris yang menjadi trendsetter para remaja itu, tanpa malu-malu menunjukkan kehamilannya yang diluar pernikahan di layar televisi. Sudah sebegitu bejatkah moral bangsa ini?
Korelasi antara sinetron dan demoralisasi memang tidak selamanya satu arah. Sinetron tidak bisa kita tuding sepenuhnya sebagai agen demoralisasi bangsa, karena sebagian sinetron memang hanya bertujuan untuk menggambarkan realita kehidupan remaja. Namun, ketika kemudian itu memberikan pengaruh yang pada akhirnya diikuti oleh para remaja, itu diluar kuasa para sutradara, karena benih-benih demoralisasi tersebut sebenarnya memang sudah ada di masyarakat.
Namun, sinetron remaja dengan para aktris dan aktornya tidak dapat kita pungkiri merupakan trendsetter remaja Indonesia. Dalam hal ini yang paling diuntungkan sebenarnya adalah produsen baju, aksesoris, dan salon. Maka tidak heran bila kita melihat akhir dari sebuah sinetron dipenuhi oleh ucapan terimakasih kepada berbagai merek pakaian dan distro sebagai wardrobe mereka. Sehingga para aktris dan aktor tersebut tidak hanya berakting tapi juga bagaimana menampilkan pesan sponsor dari produsen-produsen pakaian dan distro, sehingga pakaian dan aksesoris yang mereka kenakan menjadi trend.
Semua itu merupakan bagian dari budaya metropolis yang menyuguhkan modernitas, kegemerlapan, budaya konsumerisme yang tinggi sebagai akibat dari menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan. Hal ini mungkin memang menjadi hal yang biasa bagi mereka yang tinggal di kawasan metropoitan, dengan segala keironiannya. Maksudnya adalah bagi mereka kelas menengah ke atas, tidak bagi mereka yang hidup di wilayah kumuh.
Bagaimana dengan para remaja yang tinggal di kota-kota kecil?. Siaran televisi yang semakin menjangkau setiap pelosok nusantara telah membawa budaya metropolis yang dikemas dalam sinetron-sinetron remaja sampai ke kota-kota kecil. Pembangunan sarana ekonomi dan sarana transportasi yang semakin mudah mengakibatkan arus barang dan jasa semakin cepat masuk ke kota-kota tersebut. Ketiga hal tersebut mengakibatkan budaya metropolis kini tidak hanya dijumpai di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, tapi juga di kota-kota kecil yang letaknya jauh dari Jakarta.
Fenomena ini merupakan bagian dari pengaruh pembangunan dan globalisasi. Sikap yang harus kita ambil pun sama seperti kita menyikapi pembangunan dan globalisasi. Sikap selektif merupakan solusi terbaik untuk mencegah demoralisasi bangsa yang semakin kritis. Sisi-sisi negatif yang diperlihatkan dalam sinetron-sinetron remaja kita anggap sebagai pembelajaran dan batasan yang tidak boleh kita lakukan. Selain itu, komunikasi orang tua-anak yang diwujudkan dalam pendampingan dan bimbingan orang tua merupakan solusi terbaik dalam mencegah demoralisasi di kalangan remaja.
RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang masih “tidur” di DPR, semoga dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat meminimalisir pengaruh buruk tayangan sinetron remaja di televisi. Aktor dan aktris diharapkan dapat menjadi trendsetter yang dapat mengembalikan moral bangsa dan menjadikan remaja Indonesia menjadi pribadi yang unggul dan bermoral.