Jumat, 08 Februari 2008

KETIKA ITU

Ketika itu, seusai menidurkan Dimas, anak semata wayangku yang baru berusia 7 bulan. Aku segera beranjak ke dapur, aku harus menanak nasi untuk makan siang yang sebenarnya gabungan dari sarapan dan makan siang, dan kalau ada sisa berarti kami bisa makan malam. Maklum, penghasilan suamiku sebagai tukang koran tidaklah besar, ditambah lagi dengan kehadiran si mungil dimas yang sudah mulai membutuhkan makanan tambahan selain ASI. Aku tidak pernah mengeluh dengan keadaanku, walaupun kami harus tinggal di bantaran sungai yang sangat padat penduduknya. Sampai ………….
“ Mbak…. Mbak Marni…. Mbak dimana??!!!”
“Masuk saja, saya di dapur”. Aku tidak beranjak dari tungku, sambil menambah kayu bakar dan melumurinya dengan minyak. “Mbak, ayo ke rumah sakit… Mas Wid ditabrak lari” si pemberi kabar dengan napas yang terengah-engah telah berdiri dibelakangku.
Sesaat aku merasa seluruh tulang-tulangku terlepas sehingga tak kuasa menahan bobot tubuhku, jantungku berdetak kencang, dan tubuhku gemetar, pikiranku tidak berhenti membayangkan bagaimana keadaan suamiku.
Ternyata si pemberi kabar itu adalah Nur, tetanggaku yang juga rekan seprofesi suamiku sebagai Tukang Koran.
Aku berdiri melawan rasa lemas yang menyerang seluruh tubuhku, aku langsung berlari keluar tanpa menghiraukan apa pun. Nur, di belakang ikut mengejarku. Aku dan Nur langsung naik angkot yang menuju Rumah Sakit.
Aku terus menegarkan hatiku, walaupun ternyata aku tak kuasa membendung air mata yang sejak tadi aku tahan, dan perlahan menetes membasahi pipiku. Nur hanya bisa memegang tanganku dalam diam. Aku sangat ingin tahu bagaimana kecelakaan itu menimpa suamiku, tapi aku tidak bisa berkata apa-apa..
Akhirnya angkot yang kami tumpangi sampai di Rumah Sakit, Aku langsung berlari menuju ruang Unit Gawat Darurat. Jantungku berdetak semakin kencang, Tuhan bagaimana keadaan suamiku….
Di depan ruangan, aku melihat beberapa orang polisi sedang bicara dengan sesorang yang kemudian aku kenali sebagai Jiwo, pedagang asongan, teman suamiku.
“Jiwo……, dimana Mas Wid? Bagaimana keadaan dia??”
Aku tidak sadar telah menarik-narik tangan Jiwo dan berteriak-teriak kepadanya sambil menangis. Sementara Jiwo hanya menunduk dan tak berkata apa-apa… Nur memegang pundakku dari belakang.
“Maaf.. Apakah ibu istrinya saudari Widodo?” Salah seorang polisi bertanaya kepadaku.
“Betul Pak’, Bagaimana keadaan suami saya?” aku telah pasrah dengan apa yang akan aku dengar mengenai suamiku.
“Mari bu, ikut saya”. Polisi itu kemudian membawaku masuk ke ruang UGD, Nur dan Jiwo ikut dibelakangku.
Ruangan itu sangat besar, beberapa dokter dan perawat hilir mudik dengan entah apa dan siapa pasien yang dia tangani. Aku juga melihat beberapa keluarga sedang menangis histeris, di depan sebuah jasad yang tertutup kain. Perasaanku semakin tidak enak, apakah suamiku juga seperti itu? Terbujur kaku, tertutup kain yang berlumuran darah.. Tidak, suamiku tidak apa-apa…. Aku terus berusaha menegarkan hatiku.
“Permisi suster, ini Istri saudari Widodo, korban tabrak lari di Jl. Bhayangkari”. Polisi tersebut menyapa seorang perawat yang kebetulan lewat di depan kami.
“Oh.. Mari Bu”
Perawat itu kemudian membawaku menuju sesosok tubuh yang telah tertutup kain bersimbah darah seperti yang aku bayangkan dari tadi.. Aku menarik kain itu, Aku hampir tidak mengenali wajah Mas Wid, wajahnya hancur, pakaiannya lah yang membuat aku yakin itu adalah Mas Wid. Kaos biru, yang baru kubelikan tiga hari yang lalu.
Sesaat kemudian, aku merasa dunia sangat gelap, kakiku tak lagi mampu berpijak dan seketika itu pula aku rubuh….
Ketika aku membuka mata, belum sedihku hilang, aku teringat akan Dimas. Oh Tuhan… aku meninggalkan Dimas di Rumah…
“Nur, Dimas!!!”
“Dimas di rumah Nur!!”
“Ya ampun Mbak, biar Nur minta Jiwo bawa Dimas, sekalian memberi tahu Pak RT!”
Dengan bantuan Nur, aku kembali berdiri meratapi jasad Mas Wid yang kini telah dibersihkan lukanya,. Mas Wid, yang baru dua tahun menjadi suamiku adalah sosok lelaki yang sangat baik, sholeh, dan sangat tampan dimataku. Aku mengenal Mas Wid di lampu merah Jl. Bhayangkari, disana tempat dia biasa menjajakan Koran dan disana pula nyawanya terenggut!! Aku saat itu adalah seorang penjual bunga yang baru mencoba berjualan di Jl. Bhayangkari, sebelumnya aku pengamen! Aku berhenti berjualan ketika aku mulai mengandung Dimas. Mas Wid tidak ingin aku capek, dia sangat mengkhawatirkan kandunganku. Mulai saat itu, dia berjualan dari pagi sampai sore untuk menutupi kebutuhan dan persiapan kelahiran anak pertama kami.
Setelah Dimas lahir, Mas Wid semakin giat bekerja, pagi buta dia sudah mengantarkan Koran ke rumah-rumah langganannya, sehabis itu dia kembali mangkal di JL. Bhayangkari…
Ah… semua itu kini sudah hilang, kini aku harus membesarkan Dimas seorang diri, bahkan Dimas belum sempat bisa memanggil ayahnya.. Air mata ini sepertinya tidak pernah habis dan terus mengalir dari kelopak mataku.
Aku belum sempat bertanya bagaimana kecelakaan ini menimpa suamiku, aku masih menikmati air mata yang tak henti-hentinya membasahi pipiku. Lagipula, kalaupun si penabrak itu tertangkap, toh semua itu tidak akan mengembalikan suamiku, ayah dari Dimas..
Jiwo dan Pak RT datang menghampiriku, tapi Dimas tidak bersamanya. Aku berpikir, mungkin Dimas dibawa Ibu-ibu tetanggaku yang akan datang menyusul kemudian.
“Mbak Marni, saya turut berduka cita… tapi saya harus menyampaikan kabar ini kepada Mbak Marni, semoga Mbak Marni tabah”.
Perasaanku yang sedang kacau semakin tidak menentu, apa gerangan yang akan disampaikan Pak RT.
“Ada apa Pak? Dimas mana Jiwo?”
“Maaf bu, kami tidak tahu kalau Dimas ada di dalam rumah, kami tidak bisa menyelamatkan Dimas, sebagian kampung kita habis terbakar”
“Tuhan….. apalagi yang akan kau ambil dariku…………”. Aku berteriak histeris, aku tak mampu lagi menahan pedih hati ini. Baru dua jam lalu, aku kehilangan sumiku, dan kini aku harus menerima kenyataan kalau Dimas pergi menyusul ayahnya.
Ketika aku sedang menangis histeris, aku mendengar Jiwo mengatakan pada Nur, bahwa kebakaran di kampungku berasal dari rumahku. Aku ingat, aku meninggalkan tungku yang sedang menyala dan satu kompan kecil minyak tanah di dekatnya…. Mungkinkah ada tikus sialan yang menumpahkan minyak tanah sehingga membakar seluruh rumah dan kampungku??
Tidak?!! Aku telah menjadi pembunuh anakku sendiri, aku telah menjadi penyebab kebakaran di kampungku.
Apa yang akan dikatakan tetanggaku?, mereka pasti marah, menganggapku sebagai pembunuh! pembakar???!!
Tidak?! Kenapa semua ini harus terjadi padaku….. Aku pembunuh, aku telah membakar kampungku….. Orang-orang itu pasti akan menghukumku!!!
“Aku pembunuh…… Aku pembunuh……. “ Aku berteriak dan terus berteriak, aku meronta-ronta seperti orang gila.
Ya, mungkin aku gila, entah sejak kapan aku berada disini, bersama orang-orang yang sama sepertiku, melamun, berteriak, menangis, mengamuk, kemudian aku tertidur setelah dokter menyuntikkan obat penenang ke tubuhku….
Sampai detik ini aku tidak tahu, dimana kuburan Mas Wid dan Dimas, aku tidak pernah tahu bagaimana kecelakaan yang menimpa Mas Wid, dan aku bahkan tidak pernah melihat mayat Dimas….
Aku pembunuh….. Ya, Aku Pembunuh Anankku Sendiri!!!
Aku harus mati agar Mas Wid bisa memaafkan ku…
Tiba-tiba aku melihat Mas Wid menghampiriku sambil menggendong Dimas, mereka terlihat sangat kesepian. Mas Wid mengajaku pergi, dia mengulurkan satu tangannya untukku, dan tanganku pun menyambutnya. Perlahan tubuhku terasa ringan, melayang dan terbang bersama Mas Wid dan Dimas…
Aku sama sekali tidak merasakan sakitnya kabel infus yang aku cekik kan ke leherku sendiri………………
################
Tasikmalaya, 21 September 2006
By: N’latipah

Tidak ada komentar: